Nirwana, Cinta dan Keabadian

 081236112xxx : "aku berangkat sekarang, nyampe Juanda 2 jam lagi"
081330287xxx : "iya"
Selalu begitu sms yang kau kirim padaku. Hanya pemberitahuan tanpa permintaan untuk menjemput.
Sebuah hubungan harusnya saling memiliki bukan menuntut, itu yang selalu kau katakan setiap aku bertanya kenapa hanya memberitahu jam kedatangan, kenapa tidak minta dijemput.

"Kalau kamu merasa aku milikmu, kamu pasti menjagaku seperti aku yang selalu mengunjungimu tanpa kau meminta. Untuk memastikan milikku ini baik-baik saja dan masih milikku."
Kami tak peduli dengan hiruk-pikuk bandara Juanda yang sudah seramai terminal bus. Sudutnya masih menyisakan ruang bagi kami berdua untuk menikmati Roti Boy dan secangkir kopi hitam.
Tidak banyak kata yang keluar dari bibir, cukuplah pandangan mata yang sarat dengan kerinduan. Jantungku berdetak lebih kencang setiap kali kau menggenggam tanganku. Kau tak henti tersenyum dan ini membuatku tersipu. Sama seperti saat kau menawarkan tempat dudukmu waktu perjalanan ke Goa Pindul.
"Silahkan duduk Bu" katamu seraya beranjak dari kursi.
"Loh, nggak usah. Masnya duduk aja, bentar lagi nyampe kok" tolakku halus, meski aku tidak tahu berapa lama perjalanan ini.

Sekali lagi kau meyakinkan aku bahwa kau tidak apa-apa bila berdiri sepanjang perjalanan ini. Akhirnya aku menempati kursimu setelah teman-temanmu di bus ini mendukung aksimu. Jujur, aku merasa rikuh, kamu klien yang harusnya mendapat pelayanan dari crew seperti aku malah melayaniku. Tapi mungkin ini karena pekerjaanmu yang sehari-harinya melayani nasabah di bank tempatmu bekerja membuatmu lebih mudah berempati.

Kita tidak banyak bicara sejak saat itu, seperlunya saja dengan topik berkualitas. Dan sebelum kau kembali ke Samarinda kita bertukar nomor telepon tapi itupun tidak membuat kita membuka komunikasi setiap hari. Hingga suatu waktu, saat kau berniat ke Surabaya yang semula kupikir untuk urusan pekerjaan dan ternyata bukan. Nyatanya kau hanya datang dengan flight pertama dan pulang dengan flight terakhir.

"Kok buru-buru amat, memangnya tidak ada keperluan apa-apa di Surabaya?" Tanyaku saat kau mengatakan akan pulang malam ini.
"Ini sudah sesuai rencana kok."
"Memangnya apa rencanamu?"
"Aku datang ke Surabaya, ketemu kamu, seharian denganmu lalu pulang."
"Lalu sebenarnya ke Surabaya untuk apa?"
"Ketemu kamu."

Hening. Mendadak bandara terasa sepi meski banyak orang lalu-lalang. Sepoi angin tempias di wajahku yang tiba-tiba terasa panas menahan sipu malu. Tak ingin berlebihan menanggapi apa yang disampaikan barusan. Hanya berdoa semoga Tuhan memudahkan jalan ini.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan berlalu. Kau selalu datang tiba-tiba dan kita hanya memiliki satu hari bersama. Tanpa kata yang menguatkan makna kisah ini, tanpa tuntutan untuk aku mengunjungimu balik ke kotamu. Tanpa larangan bila tiba-tiba ada pria atau wanita lain di antara kita. Kau selalu meyakinkan, bila ini milik kita maka kita akan menjaga apapun caranya.
Aku serasa dalam nirwana saat bersamamu, indah namun hanya sekejap. Setelah kau kembali ke kotamu aku harus kembali pada realita.

Kembali pada hati yang kugapai dengan susah payah, yang bukan hanya memberiku keindahan. Hati yang menunjukkan luka padaku, hati yang tidak selalu menuntunku tapi memintaku untuk bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Hati yang tak hanya melayaniku tapi mengajari bagaimana melayani kehidupan.

Aku pesawat yang membutuhkan bandara bukan untuk sekedar transit tapi badan pesawatku ini juga membutuhkan tempat peristirahatan panjang meski itu bukan keabadian.

Komentar

Postingan Populer