SUKU KAJANG
Menjejakkan kaki
pertama kali di Makassar yang terbayang di benak saya adalah suku tradisional
yang selalu memggunakan pakaian serba hitam. Merekalah Suku Kajang yang
merupakan salah satu suku tradisional di Sulawesi Selatan. Suku Kajang ini
berlokasi sekitar 200 km arah timur Kota Makassar. Suku ini mempunyai ciri khas
khusus dengan pakaian serba hitam, memakai sorban warna hitam, dan tanpa alas
kaki, walaupun panas terik matahari, atau berjalan ke kota sekalipun.
Sebelumnya saya
sudah sering mendengar nama Suku Kajang dan melihat gambar-gambar mereka dari
hasil bidikan teman-teman fotografer. Kesan eksotis yang muncul membuat saya penasaran
sekaligus tertarik dan akhirnya memutuskan untuk travelling ke Sulawesi Selatan
khusus ke Suku Kajang.
Perjalanan saya
mulai dari Bandara Juanda Surabaya menuju Bandara Sultan Hassanuddin Makassar.
Beruntungnya, saya sudah memiliki beberapa teman di Makassar, jadi tidak
kesulitan transportasi untuk menuju Suku Kajang. Tapi Anda tidak perlu
khawatir, tidak sulit untuk menemukan lokasi Suku Kajang, karena desa Suku
Kajang yang utama ada di desa Tana Toa, selebihnya mereka tersebar di desa
Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung, dan Tambangan. Suku Kajang mudah
dijangkau oleh transportasi umum. Hanya perlu menyesuaikan waktu untuk naik ke
Bulukumba saja karena tidak semua mobil ke sana.
Untuk menuju
Tana Toa Anda bisa naik mobil dari terminal Malengkeri yang ada di Kota
Makassar menuju Kota Bulukumba dengan tarif Rp. 40.000,-. Perjalanan ini biasa
ditempuh 3-3,5 jam, kalau Anda langsung ke desa Tana Toa diperlukan waktu
tambahan sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Bulukumba. Semua sopir mobil ini
sudah banyak yang mengenal Suku Kajang, jadi Anda tidak perlu khawatir
tersesat. Dari Kota Bulukumba menuju desa Tana Toa kita hanya menambah ongkos
sekitar Rp. 10.000,-.
Sampai di desa
Tana Toa, tidak serta merta kita bisa masuk ke Suku Kajang. Sebelumnya kita
harus melapor pada kepala desa yang terletak di Kajang Luar. Setelah itu
barulah kita bisa berjalan-jalan ke Kajang Dalam. Disini kita tidak dibiarkan berjalan-jalan
sendiri tapi akan ditemani pemandu yang ditunjuk oleh kepala desa. Pemandu ini
gunanya untuk menjelaskan situasi yang ada di Kajang Dalam, sekaligus sebagai
penerjemah bahasa karena mayoritas suku Kajang Dalam, berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Konjo, bahasa tradisional suku Bugis.
Suku Kajang, memegang
tradisi nenek moyang yang disebut dengan “pappasang” yaitu semacam hukum tidak
tertulis yang tidak boleh dilanggar. Barang siapa yang melanggar akan kena
“pangellai”, teguran atau hukuman. Salah satu bunyi hukum yang ada dalam
“pappasang” adalah “Kajang, tana kamase-masea”, yang artinya tidak jauh dengan,
“Kajang tanah yang sederhana atau miskin”.
Dengan adanya
“pappasang” ini, orang-orang yang berdiam dalam kompleks adat Suku Kajang,
tidak mau menerima apa yang disebut dengan kemegahan dunia. Jadi bagi siapa saja
yang ingin kaya, harus keluar dari kompleks adat, karena tanah Kajang sendiri
tidak menyiapkan kekayaan itu, karena sudah disebutkan dalam “pappasang”.
Kemegahan dunia
yang dimaksud berdasarkan interpretasi “amma toa”, sebutan Kepala Adat Suku
Kajang dan orang-orang suku kajang adalah menolak paham dari luar ataupun
program-promgam pemerintah yang dianggap dapat mengancam keberadaan mereka,
atau akan melanggar ”pappasang, Kajang tana kamase-masea”.
Sebelum masuk ke
area kompleks adat Kajang, kita akan melalui sebuah pintu gerbang Ammatoa.
Kendaraan yang kita gunakan untuk menuju lokasi ini harus ditinggal di depan
pintu gerbang ini. Selanjutnya untuk menjelajah kompleks adat kita harus
berjalan kaki. Kalau dahulu kita harus bertelanjang kaki, tapi sekarang diperbolehkan
menggunakan alas kaki. Patut dicermati disini adalah saat memasuki kompleks
adat kita tidak akan menemukan listrik. Tidak adanya listrik di dalam kompleks
adat, bukan karena tidak tersentuh oleh program pemerintah, tetapi “amma toa”
sendiri yang menolak di pasang listrik, karena dianggap akan melanggar “pappasang”,
karena listrik dianggap sebuah kemewahan. Padahal listrik di Kajang Luar sudah
ada sejak tahun 1980-an.
Seperti yang
saya bilang sebelumnya, Kajang terbagi dua secara geografis, yaitu Kajang Dalam, suku kajang yamg tinggal di area ini disebut “tau Kajang” dan Kajang Luar yaitu orang-orang yang
berdiam di sekitar suku kajang yang relatif lebih modern, mereka di sebut “tau
Lembang”.
Sebenarnya bukan
hanya listrik yang dilarang masuk suku Kajang, tetapi segala sesuatu yang
dianggap melanggar “pappasang, Kajang, tana kamase-masea”. Seperti pembangunan
jalan raya, kendaraan, sekolah, bahkan cara berpakaian. Jadi jangan heran pada saat
memasuki kompleks adat, anda akan dilarang untuk memakai pakaian yang mencolok,
yang mencerminkan kemewahan, misalnya dengan warna merah.Kalau anda melanggar maka akan di kenakan sanksi adat atau tidak diperbolehkan masuk ke
kompleks adat. Karen itu kita dianjurkan untuk berpakaian dengan warna hitam.
Ciri khas lain,
suku Kajang yang dapat dilihat adalah dari bentuk rumah yang unik. Bangunan
rumah khas Sulawesi Selatan secara umum adalah rumah panggung. Tapi suku Kajang
mempunyai ke unikan bentuk rumah panggung tersendiri yakni, dapurnya terletak
di depan, menghadap jalan utama. Jadi, kalau anda memasuki salah satu rumah
“tau Kajang”, yang pertama nampak adalah dapur. Ini melambangkan kesederhaan,
dan mau menunjukkan apa adanya.
Pemerintahan di
Suku Kajang dipimpin oleh seorang kepala adat yang disebut dengan “amma toa”.
Kepala adat ini dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh 26 kepala desa
yang tersebar di segala penjuru dan memiliki tugas masing-masing layaknya
menteri. Jabatan kepala adat biasanya diwariskan secara turun-temurun atau bisa
juga dipilih berdasarkan pilihan warga. Sementara untuk kepala desa ini dipilih
oleh kepala adat berdasarkan kemampuan masing-masing.
Pada saat saya
berkunjung ke rumah “amma toa”, sebutan Kepala Adat Suku Kajang, handphone
harus dimatikan, padahal sinyal di sekitar rumah “amma toa” ini sangat kuat
dibandingkan dengan tempat-tempat yang saya lalui untuk menuju rumah kepala
adat ini. Disini kita juga tidak diijinkan untuk mengambil gambar “amma toa”
kecuali sedang diadakan upacara.
Kepala Adat Suku
Kajang yang sekarang mahir berbahasa indonesia. Namun begitu tidak lantas saat
berkisah tentang Suku Kajang berliau langsung menggunakan bahasa indonesia.
Beliau tetap saja bercerita dengan bahasa konjo yang sesekali disisipi dengan
bahasa indonesia. Ketika saya gelisah karena tidak mengerti bahasa konjo dan
amma toa menangkap kegelisahan saya ini, dengan nada bercanda
beliau mengingatkan pemandu untuk segera menerjemahkan dalam bahasa indonesia.
Salah satu
cerita yang menarik dari Suku Kajang ini adalah di dalam kompleks adat ini
terdapat sebuah hutan, dimana masyarakat di larang mengambil kayunya, meski hanya
untuk kayu bakar. Hutan ini disebut hutan “Karanjang”. Kalau ada yang melanggar,
akan di kenakan sanksi adat. Hutan “Karanjang” sendiri adalah tempat untuk
ber-haji-nya orang-orang Kajang (tau Kajang). Sehingga hutan “Karanjang” tidak
lepas dari penjagaan adat dan penuh dengan bau mistik.
Dalam hal mata
pencaharian sehari-hari pun di kompleks adat ini ada sawah atau kebun yang
digarap secara bergantian. Sawah atau kebun ini digarap secara bersama dan
tidak perlu membayar upah pada mereka yang mengerjakannya. Tetapi cukup
bergantian satu sama lain dalam menikmati hasil buminya. Sebuah contoh
gotong-royong yang menjunjung tinggi kebersamaan dan mengabaikan iri dengki.
Secara umum Suku
Kajang mengenal mata uang seperti penduduk lainnya, tapi karena kesederhanaan
mereka seolah uang ini berkurang nilai gunanya karena untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari mereka lebih banyak mengandalkan hasil bumi dan sesekali barter
dengan sesama warga sendiri. Jadi di sini lah kerukunan mereka terjaga.
Suku unik,
alami, sederhana, alam yang masih asri, hutan yang masih terjaga, dan lain-lain,
menjadikan Kajang adalah salah satu favorit wisata budaya. Salah satu yang
membuat terhambatnya wisata kesana adalah, ketakutan orang luar memasuki
Kajang. Karena mendengar orang Kajang sendiri orang akan takut akan “dotinya”,
semacam sihir dan kekuatan ghaib yang bisa mematikan. Selain itu, “tau kajang”
sendiri agak tertutup dengan orang-orang luar.
Padahal saat
berada di suku Kajang keangkeran itu luntur oleh keramah-tamahan mereka.
Sekarang ini pun suku Kajang diperbolehkan untuk menikah dengan orang di luar
suku Kajang. Kebetulan istri dari salah satu Kepala Desa suku Kajang tempat saya meminta ijin untuk
masuk adalah orang Jawa. Dengan catatan setelah menikah dengan orang di luar
Suku Kajang mereka harus tinggal di area kajang Luar.
Bersama anak Suku Kajang sepulang mengambil air |
Pintu gerbang Kawasan Adat Ammatoa |
saya sudah sering ke Bulukumba bahkan pernah masuk hingga area perkebunan karet milik lonsum, namun belum sempat mampir menyatukan diri dengan alam dan penduduk asli Kajang..padahal keinginan itu sangat kuat di dalam diri..semoga lain kali ada waktu untuk itu, btw-ulasan yang sangat menarik..salam
BalasHapusterima kasih sudah jalan-jalan ke blog saya, maaf baru sempat membacanya. baru turun gunung. waktu ke Makassar memamng tujuan utama saya ke Suku Kajang karena suku ini unik dengan segala kearifannya terhadap alam. bersama mereka membuat kita bisa lebih banyak bersyukur karena jadi lebih bisa melihat ke bawah.
BalasHapusselamat pagi kak. kak mau tanya sewaktu kaka di suku kajang kaka nginap di rumah suku kajang kah, atau kaka kluar cari penginapan lain, cz bulan februari thn dpan saya mau kesana kak ? trimakasih
BalasHapus