Coto Palembang
COTO VS CINTA BARU
Terlahir dari keluarga campur
ternyata tak benar-benar membuatku menerima semuanya. Bayangkan saja bapak yang
orang Kendari dan ibu orang Palembang tak serta merta aku bisa menikmati
menu-menu dari Sulawesi ataupun Sumatera. Justru aku lebih familiar dengan
menu-menu Jawa yang terkenal agak manis.
Memang sedari lahir sampai
sekarang aku hanya di Jawa. Lahir di Surabaya, sekolah di Malang dan bekerja
masuk Surabaya lagi. Jadi sekalipun aku belum pernah tinggal di Palembang
ataupun Kendari. Ke sana paling hanya pas liburan sekolah, itu pun tidak lama.
Paling hanya semingguan tinggal di sana. Dan seminggu di rumah nenek itu
sebenarnya bukan waktu yang panjang
apalagi kalau keluarga besar. Waktu pasti habis untuk main ke rumah
saudara-saudara saja.
Coto Makassar |
Hari ini ada tugas untuk mereview
menu Makassar. Coto Makassar, ah ampun-ampun rasanya. Aku sangat percaya
sebenarnya masakan ini enak seperti apa yang dikatakan orang. Tapi entah kenapa
sudah mencobanya berkali-kali aku masih belum merasa klik dengan makanan yang
satu ini. Sampai-sampai untuk mendapatkan rasa yang pas aku mencoba hunting ke
daerah asalnya Makassar. Hasilnya sama, menurutku masakan ini tetap tidak enak.
Boro-boro merasakan enaknya, mencampur bumbunya saja tidak pas.
Penyajian coto itu antara kuah
yang berisi daging terpisah dengan ketupat atau burasa (nasi yang dikukus
dengan daun pisang dan dicampur santan). Sementara sambal dan bumbunya juga
disajikan terpisah. Pembeli bisa menambahkan sesuai dengan seleranya.
Nah, demi menghindari pendapat
yang tidak obyektif jadilah aku mengajak seorang teman yang hobby kuliner. Setelah
menikmati coto sudah bisa dipastikan komentarnya adalah ini makanan enak dan
wajib dilahap saat kita ke Makassar. Jujur aku hanya bengong saja saat
melihatnya melahap coto. Aku lebih memilih makan burasa dicampur kecap dan
bawang merah goreng, setidaknya ini lebih aman bagiku daripada memaksakan diri
ikut-ikutan makan coto.
“Makanan enak begini dibilang
nggak enak, lidahmu kali yang salah?” kata Nana sambil terus melahapnya.
“Iya sih, tapi selera kan nggak
bisa dipaksakan” bantahku.
“Terus gimana nih jadinya tugas reviewmu?”
“Ya aku pasti harus ambil suara
terbanyak, soalnya kalau dari aku kan pasti reviewnya nggak enak padahal
khalayak bilang enak. Jadi tetap harus suara terbanyak. Mungkin aku aja yang
subyektif” jawabku agak ragu.
“Subyektif? Maksud loe?” tanya
Nana dengan mata melotot.
“Hehe, nggak ah!”
“Apaan sih? Bilang dong .... Hmm,
aku tahu pasti karena kamu habis putus dengan cowok Makassar itu ya, makanya
ini coto jadi nggak enak.”
“Idih, nggak segitunya kaliii
.... Pisang barongko juga masih tetep enak. Palu basa juga msih doyan. Udah ah!
Nggak usah dibahas!” elakku.
Tapi kalau dipikir-pikir sedikit
ada benernya juga sih, sejak aku putus sama dia mendadak serba-serbi Makassar
jadi kurang menarik. Sekarang ini justru lagi doyan-doyannya masakan Padang. Bukan
berarti juga aku lagi pedekate sama orang Padang.
Malah cowok yang sekarang lagi
pedekate ini orang Palembang. Nggak sekampung sama ibu juga sih tapi paling
tidak orang sana juga punya makanan khas, empek-empek. Dan sekali lagi aku juga
nggak bisa makan empek-empek. Menurutku makanan ini kecut. Jadi, soal selera
makan harusnya bukan patokan.
Seharian usai menyelesaikan tugas
review coto aku coba merenung. Ada apa dengan si coto ini? Bukan salah cotonya
kan? Karena kebetulan lapar aku mencoba ke tempat coto tadi pagi.
Ups! Di luar dugaan cowok
Palembang ini lagi makan di sana juga. Dia menyapa “hai ..”
“Hai” jawabku pendek dan
mengambil posisi duduk di depannya.
“Suka makan coto juga?” tanyanya
semangat.
Aku tersenyum “nggak juga sih,
justru karena penasaran aja. Kamu?”
“Aku suka banget. Penasaran kenapa?”
“Ehem, iya habis banyak orang
bilang coto itu enak tapi giliran aku makan, rasanya aneh.”
“Hmm .... nyampur bumbu dan
sambalnya kurang pas kali. Ntar deh kuajarin.”
Pesanan pun datang. Dengan sigap
dia mencampurkan sambal dan bumbu coto ke mangkuknya. “Coba deh incipin”
katanya sambil menyorongkan mangkuknya.
Pelan kusendok kuahnya. Tidak berani
ambil banyak takut masih belum klik dengan menu yang satu ini. Amazing, rasanya
beda banget. Menyesap kuah coto hasil racikannya terasa berbeda. “Enak” kataku
spontan.
“Iya kan? Siapa bilang coto nggak
enak. Aku orang Palembang aja suka. Sini kucampurin bumbu ke mangkukmu.”
Detik berikutnya kami sudah
menikmati coto bersama. Dan rasanya memang benar-benar beda dengan rasa yang
kutemui selama ini. Tapi sebenarnya memang hatiku sedang bahagia saja jadi
semuanya enak.
Kesimpulanku sederhana saja,
makan apapun selama hati kita bahagia maka makanan yang kita makan akan jadi
enak. Dan ini pelajaran buat aku. Kalaupun ada pengalaman buruk dengan
seseorang di masa lalu baiknya diselesaikan, kalau tidak bisa lebih baik
melupakannya. Dengan begitu kita akan bisa menerima orang baru dalam kehidupan
kita dan kita tidak akan tersiksa dengan sakit akibat benci yang ada di hati kita.
Tuhan terima kasih Kau kirimkan
dia untuk menyadarkan aku dari semua ini.
Cinta bisa menerima semuanya |
Komentar
Posting Komentar