Elang Pengerat
KAMU DIANTARA KAMI
Betapa
pun kami mempertahankanmu, tak ada artinya bila kau tetap seperti elang yang
selalu mencari mangsa.
Kami,
tiga perempuan dengan jenjang usia yang berbeda dan latar belakang tak sama,
menginginkanmu menjadi sosok pria sejati yang sportif dan bertanggung jawab.
Dengan cara masing-masing, kami berusaha mempertahankanmu.
“Iya
Kak, bentar lagi kujemput. Maaf ini masih ada urusan sedikit dengan dosen”
jawab Ida di ujung telpon.
“Iya
gak papa, aku tunggu, ” kataku lalu menutup telpon.
Ida
adalah seorang mahasiswi semester akhir, dari sebuah perguruan tinggi negeri di
Makassar yang kukenal dari sebuah jejaring sosial facebook. Anak pertama dari tiga bersaudara. Usianya baru 23 tahun.
Ibu adalah satu-satunya orang tua yang
dimilikinya kini. Pribadinya ramah dan mudah menolong sekalipun baru mengenal.
Perjalanan
Surabaya-Makassar memakan waktu 1 jam 12 menit dengan pesawat. Tiba di Bandara
Sultan Hassanudin jam ditanganku menunjukkan pukul 13.00 WITA. Udara disini cukup
gerah sekalipun dalam ruangan ber-AC.
Sambil menunggu Ida, kubuka-buka file yang menyimpan datamu.
Sengaja aku tidak segera menghubungimu. Aku khawatir kalau kamu tahu aku ada
disini sekarang, kamu akan mempersiapkan semuanya termasuk mengamankan
informasi yang belum kuketahui. Itu yang tidak kuinginkan.
Setengah
jam sudah aku menunggu. Tiba-tiba ponselku bergetar, sms dari Ida masuk dan
bilang kalau dia sudah menunggu di depan. Tidak sulit bagiku mengenalinya
sekalipun kami belum pernah bertemu sebelumnya. Wajah aslinya tidak berbeda
dengan foto profil di facebook. Perawakannya
yang tinggi besar memberikan kesan tomboy sekalipun berjilbab dan memakai rok
panjang.
Sepanjang
perjalanan menuju kontrakannya kami tidak terlalu banyak bicara. Bising di jalan
membuatku malas ngobrol. Aku menurut saja saat dia menawarkan coto, makanan
khas kota Daeng ini sebelum ke kontrakannya. Pilihan pun jatuh di sebuah depot coto
terkenal di kawasan Pettarani. Pettarani sendiri merupakan daerah kota juga
hanya saja untuk pusat pemerintahan bukan di sini.
“Ini
coto terkenal di kawasan sini, kakak harus coba” katanya dengan sedikit
promosi.
Aku
hanya tersenyum saja, maklum aku sendiri belum pernah makan coto selama ini. Saat
pesanan datang, Ida menjelaskan bagaimana cara makan coto. Coto disajikan dalam
sebuah mangkuk kecil yang dialasi piring kecil. Warna coklat keruh di kuah
coto, membutaku berpikir apa bumbunya. Coto dimakan dengan ketupat yang
tempatnya terpisah. Di lidahku terasa aneh, aku merasa kurang cocok. Jadilah
aku hanya makan ketupat dan daging coto tanpa berani menyesap kuahnya. Lagipula
benakku penuh dengan banyak hal yang berkaitan dengan tujuan utamaku datang ke
Makassar.
Usai
makan coto aku dan Ida ke kontrakannya dan bersiap ke Bulukumba, kampung
halamannya. Perlu waktu empat jam dari Makassar ke Bulukumba. Transportasi yang
bisa digunakan sejenis travel dan bisa diberhentikan di tengah jalan. Tidak ada
angkutan umum layaknya bis antar kota seperti di Jawa.
“Kak
Yusril tahu kalau kakak ke Makassar?”
“Tahu,
kemarin-kemarin sudah kukabari, tapi memang tidak bilang kalau datangnya hari
ini.”
“Terus
kapan rencana bertemu dengannya?”
“Minggu
saja lah, lagian aku di sini sampai Rabu depan. Dia juga sibuk katanya.”
Yusril
ini adalah pria matang yang kukenal dalam sebuah ajang penghargaan karya
jurnalistik di Jakarta. Berusia 36 tahun, gemar travelling sama seperti aku.
Beruntungnya dia, pekerjaannya selalu menuntutnya untuk itu. Karya-karyanya
sering juara. Wajar kalau populer dan itu menjadi daya tarik di mata perempuan
di sekitarnya.
Secara fisik memang rata-rata Asia. Tingginya
sekitar 168 cm, kulit coklat dengan rambut hitam lurus pendek. Perawakannya
dempal dengan perut sedikit buncit, tapi ini masih bisa ditolerir untuk urusan
penampilan. Mata indah dengan lesung pipit di kedua pipinya, menjadi poin
tambahan. Prestasi di dunia jurnalistik itu aset terbesarmu dan menjadikannya
populer.
Entah
siapa dulu yang mengirimkan friend request di facebook yang jelas seminggu setelah acara itu kamu sudah menjadi
temanku. Ketika kamu ke Surabaya, kitapun mulai kontak. Karena teman-temanmu
sendiri sudah banyak di Surabaya, jadilah kita hanya kontak lewat telpon saja.
Keterbatasan waktu dan banyaknya agendamu membuat kita harus menunda untuk
bertemu, sekalipun sangat ingin. Maklum aku adalah teman barumu, kamu pun juga
masih jaim kalau-kalau teman di Surabaya tahu kita dekat. Jadilah hubungan ini
dijalani diam-diam.
Saat
aku mengenal Ida di facebook pun
ternyata dia mengenalmu juga. Ida sendiri sebenarnya adalah sepupu ketiga dari
Iwan, mantan kekasihku saat kuliah dulu. Jadi tidak sulit bagiku berkomunikasi
dengannya. Dalam beberapa kesempatan Ida pernah bercerita tentangmu. Tidak
banyak memang, tapi cukup membuatku mengerti kalau dia menyimpan rasa padamu.
Sayangnya kamu tidak pernah mengakui kalau kamu juga suka dia. Padahal Ida
menunjukkan beberapa bukti padaku mulai dari sms dan chat gombalmu di inboxnya.
Mungkin
dia tidak bermaksud untuk membuatku cemburu, tapi lebih untuk memperingatkanku
karena aku ternyata tidak banyak tahu tentangmu. Jujur dari awal pacaran denganmu
aku tidak terlalu berharap, jarak yang jauh, pertemuan yang jarang, komunikasi
pun sering tersendat membuatku berpikir dua kali untuk meyakinimu sebagai
pelabuhan terakhir cintaku. Kebetulan saja sekarang aku bisa cuti, sengaja
kupilih Makassar untuk liburan dan mencari tahu siapa kamu. Agenda pertamaku,
bukan langsung bertemu denganmu tapi lebih pada orang-orang di sekitarmu,
karena aku ingin mengenalmu lebih dekat. Bukan berarti juga aku mau tahu semua
tentangmu, tapi kurasa pencarian fakta seperti ini tetap perlu karena kita
adalah sepasang kekasih. Lebih tepatnya aku tak ingin kecewa lagi.
Demikian
misteriusnya dirimu, aku semakin penasaran. Sikapmu yang seakan menyembunyikan
identitasku sebagai kekasih, bagiku aneh
dan membuatku curiga. Aku juga mendapatkan info kalau ternyata kamu telah berkeluarga.
Aku minta tolong ke Ida untuk mencari kebenaran ini. Semula Ida menolak dengan
alasan sungkan padamu. Kujelaskan kenapa
aku melakukan ini dan Ida pun setuju karena dia juga sungkan padaku sesama
perempuan. Lagipula kalau dia tidak mau sama saja dia akan menambah daftar
korban. Entah bagaimana caranya, Ida akhirnya bisa mendapatkan kontak istrimu
dan mereka berteman. Tidak sulit bagiku untuk sekedar mencari teman baru. Tak
lama berselang aku juga berteman dengan istrimu tanpa sepengetahuanmu. Kamipun
berjanji untuk bertemu.
Minggu,
seperti yang sudah direncanakan aku dan Ida bertemu dengan istrimu. Sartika,
perempuan berusia 35 tahun dari keluarga terpandang dengan sosialita tinggi itu
adalah seorang ibu rumah tangga biasa dengan dua orang putri. Penampilannya
modis dan trendy, meski begitu dia lebih memilih untuk menjadi seorang istri
yang baik dan ibu yang selalu ada untuk kedua putrinya ketimbang menjadi wanita
karier. Melihat baju dan aksesoris yang dikenakan, juga gaya dandannya, pasti
perlu biaya tinggi untuk bisa tampil seperti itu. Kesan pemilih terpancar dari
caranya memandangku saat pertama ketemu. Sangat berbeda denganmu yang low
profile dan nyambung ngobrol apa saja. Sepertinya istrimu hanya bergaul dengan kalangan terbatas saja
terlihat dari banyaknya permintaan di resto ini.
“Nathaya, kok sepertinya niat banget datang ke
Makassar ya, padahal kan tidak ada saudara di sini?” Tanyanya sekedar basa-basi
setelah bertemu.
“Banyak
temenku yang sudah ke sini Kak, makanya aku penasaran. Mumpung bisa cuti dan ada
tiket murah jadi apa salahnya dicoba” jawabku tak kalah basa-basi.
“Tapi
orang Makassar kan memang menarik, jadi Kakak penasaran” canda si Ida mulai
memancing. Hahaha .... kami pun tertawa bersama.
Kami
ngobrol ngalor-ngidul. Akhirnya aku juga mengakui kalau ada seseorang yang
istimewa di sini. Istrimu manggut-manggut, sedikit kusinggung juga tentangmu
dalam obrolan kami. Istrimu tidak heran kalau aku mengenalmu, mungkin karena
dia sudah menyadari kalau suaminya adalah orang yang populer. Dia pun tak
keberatan kalau nantinya kamu akan datang, memaklumi keterbatasan waktuku
denganmu.
“Posisi
dimana?” Tanyamu via blackberry messenger.
“Maaf
kekasihku mau datang ke sini, nggak papa ya kalau dia ikut gabung di sini?”
tanyaku pada istrimu dan Ida.
“Nggak
papa” jawab mereka serempak.
“Kita
sekarang dimana? Dia mau datang ke sini....” tanyaku berlagak bingung sambil
mengangsurkan blackberry-ku pada
istrimu agar pesanmu dibacanya dan berharap dia mengetikkan lokasi kami. Tentu
saja nama tampilanmu sudah kuganti dengan “Bee
Loved”. Sayangnya foto yang terpasang masih fotomu dan istrimu
mengenalinya.
“Lho,
ini kan suamiku?” tanyanya kaget.
“O
... itu kan karena dia ngefans aja dengan suamimu mbak, kan foto ini diambil
beberapa waktu lalu di Bandung. Kebetulan mereka satu lokasi” jawabku memberi
alasan karena istrimu mulai curiga. Aku khawatir kami ribut duluan sebelum kamu
datang hanya gara-gara fotomu.
“Sampai
segitunya ya ....?” Istrimu mulai curiga.
“Yah,
namanya juga senior jadi wajar lah kalau suami mbak menginspirasinya. Akunya saja
yang nggak ngerti dengan dunia fotografi. Hanya bisa menikmati tanpa
terinspirasi” jawabku diplomatis.
Tak
berapa lama kulihat mobilmu masuk area parkir. Aku pun menyambutmu dan meninggalkan mereka berdua saja.
“Hai
Sayang, apa kabar?” Sapaku sambil mengangsurkan pipi.
“Baik”
jawabmu menyambut pipiku.
“Masuk
yuk, ada temenku di dalam nggak papa ya. Bentar lagi mereka juga pulang.”
Agak
malas kamu masuk ke dalam. Tapi tetap kupaksakan. Tiba-tiba kamu menghentikan
langkah saat melihat ada istrimu di antara kami. Terlambat, bibirku sudah
berteriak mengenalkanmu, tanganku sudah kuat mencengkram lenganmu.
“Hai,
ini lho kekasihku, yang bikin penasaran sama Makassar. Dia nih yang bikin aku
jauh-jauh datang ke sini.”
“Kamu
apa-apaan sih ....?” Kilahmu.
“Emangnya
kenapa, aku kan cuma mau mengenalkan kamu ke temen-temenku saja.”
“Ya,
tapi tidak begini?”
“Lantas
bagaimana? Ada yang salah dengan teman-temanku?” Tanyaku balik.
Kulihat
kamu panik sementara istrimu menahan marah.
“Ini
suamiku” katanya datar.
“Benarkah?”
“Iya”
jawabmu.
“Kenapa
tidak bilang? Kamu baik-baik saja kan dengan istrimu?”
Kulihat
wajah istrimu merah padam, tapi ini tempat umum ia pun mencoba menahan amarah.
Matanya merah menahan tangis. Digigit bibirnya kuat-kuat. Aku tahu kenapa dia
begitu, karena dia sudah membaca pesanmu di blackberry-ku,
saat aku pura-pura bertanya tentang lokasi kami tadi. Aku memang sengaja
membukakan history percakapan kita. Meski namamu kuganti tapi foto dan pinmu
pasti dia hapal betul.
Sebuah
kekisruhan yang memang kusengaja hari ini. Agar aku punya alasan untuk
meninggalkanmu. Kamu yang tak menyangka aku berani melakukan ini hanya diam.
Mungkin sama dengan istrimu, kamu pun ingin marah padaku. Karena dengan
kejadian ini pasti akan membawa masalah dalam rumah tanggamu. Apalagi di sini
ada Ida yang notabenenya dia juga suka padamu, dan kamu pun pernah berusaha
merayunya. Tanganmu mengepal menahan marah.
“Kalau
kamu marah, silahkan. Itu hakmu. Tapi aku juga punya hak untuk tahu semua ini”
kataku pelan dan jelas.
“Aku
nggak suka caramu seperti ini” gerammu.
“Aku
tak peduli kamu suka atau tidak. Yang jelas aku punya alasan untuk itu.
Terjawab sudah penasaranku selama ini. Kita sudah tidak ada apa-apa lagi”
kataku dan berkemas pulang.
“Perempuan
sial!” umpatmu.
“Dan
kamu ketiban sial hari ini. Kak Sartika, aku pamit. Terima kasih sudah mau
menemuiku. Silahkan diselesaikan berdua” pamitku pada istrimu.
Kutinggalkan
mereka yang masih geram dan kesal. Aku tak peduli. Persetan dengan apa yang
akan terjadi di antara kalian setelah ini. Yang jelas aku berharap dengan
istrimu tahu hal ini, kamu tidak berulah lagi. Selama ini kamu seperti ini
karena setiap perempuan yang suka padamu terlalu mabuk dengan kharismamu.
Bahkan kalaupun toh ada yang tahu kamu sudah berkeluarga mereka tak peduli asal
kamu masih perhatian dengannya. Tapi ini tidak berlaku untukku. Berani berbuat
berarti harus berani bertanggung jawab.
Tiba-tiba
Ida menangis dan menggenggam tanganku erat.
“Kenapa,
ada yang salah?”
Dia
menggeleng, hanya diam dan menatapku tajam.
“Lantas
kenapa kamu menangis ....” tanyaku bingung.
“Aku
pernah tidur dengannya, dan kami tidak menggunakan pengaman. Aku takut kalau
kenapa-kenapa.”
Sakit
kepalaku mendengarnya. Tak tahu harus bagaimana. Satu korbannya ada di depan
mataku.
Komentar
Posting Komentar