Konsekuensi
KONSEKUENSI
Meski bukan aku satu-satunya perempuan di hatimu,
tapi aku harus tetap konsekuen dengan komitmen ini. Aku yang telah memilihmu
dulu, sekarang aku juga harus siap dengan segala resikonya.
Aku tidak tahu pasti apa yang ada di benak perempuan
muda di sampingku ini, dengan perasaan bangga dia bercerita kalau dia menjadi
kekasih gelap seorang pria yang nyata-nyata dia tahu kekasih pria itu bukan
hanya dirinya.
Dalam hati aku juga bingung harus kasihan atau geram dengannya. Namun di sudut hati, aku hanya bisa merutuki diriku yang merasa telah salah naik bus kali ini hingga aku harus bertemu dengan perempuan muda ini.
Seperti minggu-minggu sebelumnya setiap libur kantor
aku selalu menyempatkan untuk pulang ke rumah orang tuaku di Pasuruan, maklum
orang tuaku sudah sangat tua dan mulai sering sakit-sakitkan. Sebagai anak
tertua aku hanya ingin memastikan keadaan orang tuaku baik-baik saja. Karena
itu setiap aku libur aku selalu minta ijin suamiku untuk sebisa mungkin
menjenguk mereka terutama ayah yang kondisinya semakin menurun karena usia.
Beruntungnya aku, suamiku mengijinkan. Lagi pula aku libur tidak selalu tanggal
merah ataupun hari minggu jadi aku tetap bisa menemani Bintang, anak semata
wayangku di hari Minggu. Begitupun dengan suamiku yang selalu libur di hari
Minggu. Dengan kata lain setiap hari Minggu kami bertiga masih punya waktu
bersama sekalipun tidak penuh.
Seperti
biasanya, pulang dari kantor aku langsung menuju terminal Bungurasih yang letaknya
memang dekat dengan kantorku tanpa pulang ke rumah terlebih dulu karena sudah berpamitan
padamu dan juga Bintang. Begitu aku masuk terminal aku melihat ada bus patas
jurusan Malang yang sudah hampir berangkat. Buru-buru aku naik. Lega, masih ada
beberapa bangku kosong. Termasuk bangku di sebelah perempuan muda ini. Karena
tempat duduk kosong yang lain terisi pria di sebelahnya, kuputuskan untuk duduk
di sampingnya.
Melihat
fisiknya kuperkirakan dia masih berusia sekitar 23-24 tahunan, mungkin juga
baru lulus kuliah. Dari pakaiannya yang look
office, sepertinya dia baru saja dipanggil untuk sebuah wawancara kerja di
Surabaya. Paras wajahnya masih belum terlihat dewasa. Sebelumnya dia sibuk saja
dengan ponselnya, entah sekedar sms atau berselancar internet disana. Aku tak
peduli. Yang ku tahu aku ingin segera sampai di rumah karena badan ini sudah
lelah.
“Turun dimana?” Kucoba membuka percakapan ringan
dengannya.
“Malang, mbaknya?” Diapun ganti bertanya.
“Pasuruan.”
“Kerja di Surabaya?” Tanyanya lagi.
“Iya, kamu juga?”
“Hmm ... belum tadi baru interview aja.”
Dugaanku tepat dia baru interview.
“Susah cari kerja jaman sekarang,” katanya.
“Kenapa?”
“Lowongannya sedikit, tapi yang nglamar banyak,”
keluhnya dengan mimik pesimis.
“Tadi sendirian aja ke Surabaya?”
“Dari Malang sih sendirian, untungnya tadi mas bisa
jemput aku dan mengantar ke perusahaan ini, jadi lumayan tertolong.”
“Syukurlah kalo ada orang yang bisa membantu di
Surabaya.”
“Ehem, iya siii … “ jawabnya malu-malu.
“Lho, kenapa kok sepertinya malu?” aku jadi sedikit
heran dengan perubahan mimiknya.
“Ah, nggak papa, ya jelas aja dia mau antar, masak
pacarnya mau interview di kotanya kok dicuekin,” jawabnya dengan nada sedikit
merajuk.
Hahahaha ... dan kami pun tertawa bersama.
Bermula
tertawa bersama itulah akhirnya kami pun ngobrol panjang lebar tentang pria
yang diakui sebagai kekasihnya. Menurutnya, dia mengenal pria yang diakui
sebagai kekasihnya itu dari sebuah jejaring sosial facebook sekitar dua tahun
yang lalu. Demi apapun aku tak kan
menyebut namanya di sini, karena sungguh menyakitkan. Kemudian menjadi akrab.
Merasa semakin akrab mereka pun mencoba untuk kopi darat atau bertemu secara
langsung. Rasa ketertarikan itu akhirnya muncul.
Karena perasaan saling tertarik itulah akhirnya
mereka mencoba untuk saling mengisi hari. Kebersamaan yang dirajut setiap hari
bertumbuh cinta dalam hati yang tidak bisa diingkari. Mereka tidak bisa
membohongi perasaan sendiri tapi juga tidak beranni beraharap lebih dari
hubungan ini.
Hanya saja
yang kusalut dan heran dengan perempuan muda ini, dia begitu menurut dan
percaya denga pria yang diakui kekasihnya ini. Sampai-sampai setelah mereka
berhubungan selama setahun pun saat datang ke Surabaya perempuan muda ini tidak
pernah ditawarin mampir ke rumah si pria dan dia juga tidak curiga sama sekali.
Mereka lebih suka menghabiskan waktu
untuk sekedar berjalan-jalan keliling Surabaya.
Satu hal yang masih bisa menghiburku dari pria yang
diakui sebagai kekasihnya ini adalah dia mengakui adanya seorang anak bernama
“Bintang”. Sekalipun perempuan muda ini belum bertemu Bintang tapi dia
sepertinya sangat mengenal Bintang dari pria kekasihnya ini. Semua cerita
tentang Bintang tidak ada yang salah. Kembali akupun harus bisa menguasai diri
meski aku sudah mulai bisa menduga siapa pria kekasihnya ini.
Sampai
akhirnya akupun tak tahan untuk bertanya, “ jadi belum pernah bertemu si
Bintang dan keluarga masnya?”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Mas bilang, nanti akan ada waktunya.”
Aku menyadari posisiku yang mulai tidak aman.
Tiba-tiba rasa ingin tahuku tentang sosok pria kekasihnya ini muncul.
“Kapan?” mendadak aku yang kelihatan tidak sabar.
“Entah lah ...” jawabnya mengambang. “Kata mas,
belum tepat kalau sekarang. Lagipula saat ini banyak cewek-cewek yang ngejar
mas. Kadang mereka deketin aku juga untuk cari tahu informasi tentang mas,”
lanjutnya.
“Lho mereka tidak tahu kalau kamu pacarnya?”
“Tidak, mungkin karena usiaku terpaut jauh jadi
dikira aku ini adiknya.”
“Oh ...”
gumamku dalam hati. Ternyata kau pun tak terang-terang diakui sebagai
kekasihnya. Dengan begitu pria pujaanmu ini masih leluasa untuk mencari kekasih
baru lagi. “Tuhan ...” aku semakin
merintih.
Usianya memang terpaut sekitar 14-15 tahunan. Jadi
memang lebih kelihatan sebagai adik daripada pacar.
Perempuan muda ini juga bercerita kalau kekasihnya sering
mengunjunginya di Malang dan sempat bilang mau ke rumah orang tuanya tapi batal
terus, karena waktu yang tidak tepat. Yang jelas perempuan ini menyadari kalau kekasih
pacarnya ini tak hanya dirinya, tapi sepertinya dia tidak terlalu peduli karena
merasa yakin dirinyalah yang paling dekat dan istimewa di hati pria pujaannya
ini. Perempuan-perempuan lain yang diduga sebagai kekasihnya rata-rata memang tinggal
jauh dari kota Surabaya. Sementara Malang adalah kota terdekat.
Sampai di Pasuruan aku turun lebih dulu, tidak lupa aku
pun bertukar nomor ponsel pada perempuan muda ini. Sedikit basa-basi kukatakan
padanya kalau dia ke Surabaya jangan sungkan untuk singgah di rumahku.
Kali
ini aku sengaja mempercepat kunjungan ke rumah orang tuaku dengan alasan masih
ada urusan di kantor. Besoknya, pagi-pagi sekali aku berangkat ke Surabaya
berharap segera sampai di rumah. Pada saat tiba di rumah suamiku yang masih di
rumah kaget melihatku pulang cepat. Sementara Bintang sudah diantarnya ke
sekolah.
“Tumben
cepat? Bagaimana kabar ayah?”
“Ayah baik-baik saja, hanya perlu banyak istrirahat.
Mendadak aku kangen padamu jadi kuputuskan pulang cepat.”
“Bukannya tiap hari ketemu, kok masih kangen?”
katanya sambil memelukku dari belakang dan mencium punggungku.
“Memangnya nggak boleh? Ada yang ingin kuceritakan
padamu,” kataku membalikkan badan dan melumat bibirnya.
“Apa?”
“Duduklah!”
Detik berikutnya aku dan suamiku sudah duduk di
kursi ruang makan. Sejenak kubuatkan teh hangat manis kesukaannya. Sesaat
sambil menemani suamiku menikmati teh manis buatanku, aku mulai bercerita
tentang perempuan muda yang kutemui di bis itu. Kaget adalah rekasi pertamanya.
Tapi demi sebuah ceritaku yang sangat detail dan runut suamiku kesulitan
mengingkarinya.
“Satu hal yang
masih membuatku bangga padamu! Kamu mengakui Bintang sebagai anakmu
sekalipun kamu hanya mengakui aku sebagai saudara perempuanmu yang menjaga
Bintang dan bukan sebagai istrimu!”
Air mataku tumpah!! Aku tak bisa menahan lagi. Di
benakku campur aduk antara marah dan sedih, sementara kamu hanya diam.
Sebelum-sebelumnya aku tidak pernah seperti ini. Kalau pun toh kami bertengkar
tidak pernah membuatku sampai naik darah. Selama ini aku selalu percaya bahwa suamiku
adalah pria baik-baik dan bertanggung jawab pada keluarganya.
“Sayang,
kalau selama ini aku diam dan aku tidak pernah curiga padamu bukan berarti aku
tidak pernah berpikir kemungkinan seperti ini.
Pria berselingkuh itu sudah sering kudengar, tapi aku tidak berpikir kalau kamu seperti ini.
Berselingkuh dengan banyak perempuan dan mengatakan aku adalah saudara perempuanmu.”
“Sayang, tunggu sebentar … bagaimana kau yakin aku
adalah kekasih dari perempuan yang kau temui di bis itu?” Katamu mencoba
menenangkanku yang hampir hilang kontrol.
“Kau mau liat buktinya?”
Dengan
tak sabar aku membuka laptop dan mulai masuk ke facebook dan mencoba mencari
akun facebook perempuan itu yang memang telah berteman denganku setelah
pertemuan kemarin itu. Aku mendapati fotonya sedang berpelukan dengan suamiku.
Tak cukup hanya itu saja, kusambar
ponselnya yang terlambat diselamatkan dan kupencet nomor perempuan muda itu.
Muncul nama seorang pria di ponselnya, ku loudspeaker.
“Masss,
kangeeennn ….!!!” Suara manja perempuan muda itu menyahut di ujung sana.
Suamiku hanya diam terpaku. Giginya gemeratakan
menahan marah tapi aku sudah tidak peduli lagi.
“Hai Seira, ini aku Meutia istri dari Masmu, kekasih
yang kau ceritakan kemarin. Thanks girl, sudah sharing pengalamanmu denganku.”
“Loh, jadiii ...?”
Kuputuskan telponku, dan kuhampiri suamiku.
“Masih kurang bukti yang kupunya? Sekarang apa
maumu?”
“Aku masih ingin denganmu.”
“Bohong ...!!” Teriakku tak bisa menahan diri.
“Rumah ini rumahku dan mobil itu mobilmu. Pergilah, kemana pun kau mau.
Tinggalkan aku, bawalah semua barangmu. Biarkan Bintang bersamaku. Aku tak
ingin melihatmu.”
Kulihat
suamiku masih bengong, tapi aku sudah tak sabar lagi dan mulai mengemas
barang-barangnya. Kukeluarkan koper dan kuisi dengan pakaiannya. Semua
peralatan kerjanya juga kumasukkan ke dalam kardus, siap kupacking. Kamu hanya
diam saja. Sikap diam inilah yang sangat tidak kusukai karena dengan hanya diam
orang lain akan mengira seolah-olah aku adalah istri yang penuntut. Orang-orang
itu tidak tahu betapa hatiku kesakitan karena ulahmu.
Kali ini aku tidak memberikan kesempatan padamu
untuk berpikir lebih panjang lagi. Usai aku mengemas barng-barangmu, lalu
kumasukkan ke dalam mobil.
“Ini kuncinya, pergilah sesuka hatimu. Biarkan aku
sendiri,” pintaku sambil menyerahkan kunci mobilnya.
Detik berikutnya kamu sudah melajukan mobilmu entah
kemana aku tidak peduli. Sepanjang pernikahan kita, ini bukan kali pertama aku
mendengar kamu berselingkuh di belakangku, tapi karena selama ini kamu masih
kelihatan bertanggung jawab pada keluarga ini dan aku tidak menemukan buktinya,
tak kupedulikan apa yang kudengar dari temanku dan teman-temanmu. Saat kudapati
bukti sementara kamu pun tak bisa
menyanggahnya hatiku kesakitan luar biasa. Aku perlu waktu sendiri untuk
berpikir apakah akan meneruskan pernikahan ini atau tidak. Tapi
masalahnya pada saat menikah denganmu pun dulu aku sudah diingatkan tentang
ini. Kamu adalah pria yang kupilih. Jadi aku harus bertanggung jawab pada
pilihanku ini.
Komentar
Posting Komentar